Bagaimanakah kelakukan Nabi Luth? Mereka ingin melakukan tindakan homoseksual walaupun terhadap tamu yang mulia dari Nabi Luth yang sebenarnya adalah para malaikat yang berwujud laki-laki tampan.
Lihat kisahnya berikut.
Malaikat pun berkata pada Ibrahim ketika Ibrahim berdialog dengan mereka,
يَا إِبْرَاهِيمُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا إِنَّهُ قَدْ جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ وَإِنَّهُمْ آَتِيهِمْ عَذَابٌ غَيْرُ مَرْدُودٍ
“Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini, sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.” (QS. Huud: 76).
Maksudnya, walau Nabi Ibrahim berdo’a dan berjidal (berdebat) tetap saja azab akan turun menimpa kaum Luth. (Al-Muktashar fii At-Tafsir, hlm. 230)
Pelajaran:
Kalau azab Allah sudah ditetapkan turun karena kekufuran atau kemaksiatan, sulit ada yang bisa mencegahnya.
Ketika utusan malaikat tersebut mendatangi Nabi Luth ‘alaihis salam dan saat itu ia berada di rumahnya,
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Huud: 77).
Malaikat mendatangi Nabi Luth dalam bentuk laki-laki. Luth merasa susah dan sempit hatinya karena kedatangan para malaikat. Karena ia khawatir dengan keadaan kaumnya yang masih punya perilaku suka sesame jenis, dan laki-laki tidak menyukai wanita. Luth pun menyatakan bahwa hari tersebut adalah hari yang amat sulit di mana ia khawatir kaumnya malah akan bercinta dengan tamunya tersebut (suka dengan tamu yang sesama jenis). (Al-Muktashar fii At-Tafsir, hlm. 230)
Dijelaskan dalam kitab tafsir bahwa malaikat tersebut datang dalam bentuk seorang pemuda yang sangat tampan dan sempurna. Itulah yang membuat Luth khawatir pada kaumnya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 403)
Luth takut karena ia tahu keadaan kaumnya yang masih hobi melakukan hubungan dengan sesama jenis.
وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ
“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS. Huud: 78)
Kaum Luth ternyata tetap datang menghampiri tamu Nabi Luth dengan tergesa-gesa. Karena memang mereka punya kesukaan yang jelek sejak dahulu, yaitu sama sekali tak suka dengan perempuan. Luth lantas mencegah kaumnya dengan mengatakan bahwa ini wanita dari kaum Luth, nikahilah mereka. Wanita-wanita itu lebih baik (lebih suci) daripada melakukan tindakan fahisyah (homoseksual). Mereka pun takut dari siksa Allah. (Al-Muktashar fii At-Tafsir, hlm. 230)
Pelajaran:
Dalam ayat disebutkan bahwa Luth menawarkan puteri-puterinya. Yang dimaksudkan adalah kaumnya yang wanita, bukan maksudnya puteri kandungnya. Karena seorang nabi dapat dianggap sebagai orang tua bagi kaumnya.
Mujahid berkata, “Yang dikatakan Nabi Luth bukanlah puteri-puterinya, namun yang dimaksud adalah para wanita dari kaumnya. Karena setiap Nabi adalah bapak dari umatnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 462). Karena Allah menyatakan pula dalam ayat lainnya,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6). Berarti seorang nabi adalah bapak bagi dari kaumnya berdasarkan ayat ini.
Pelajaran:
Adapun Luth menunjukkan wanita dan menilainya lebih baik atau lebih suci, maksudnya wanita-wanita tersebut lebih manfaat di dunia dan akhirat. Sebagaimana Allah nyatakan pada ayat yang lain,
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ ، وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Asy-Syu’ara’: 165-166) (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 461)
Pelajaran:
Rojulun rosyid yang dimaksud dalam ayat adalah orang yang bisa mendakwahi dengan mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. (Tafsir Al-Jalalain, hlm. 239)
Berarti penyimpangan seksual (lewat praktik homo) perlu diingatkan, bukan dibiarkan dan dibela seperti yang dilakukan oleh kaum Liberal saat ini.
Luth pun menyatakan, jangan buat ia malu karena tindakan kaumnya pada tamunya. Beliau katakan bahwa bukankah di tengah-tengah kaumnya masih mungkin ada orang yang lurus yang melarang dari tindakan keji (homoseksual). (Al-Muktashar fii At-Tafsir, hlm. 230)
Ternyata jawaban kaumnya,
قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ
“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” (QS. Huud: 79). Artinya, kaumnya tidak punya rasa (syahwat) sama sekali dengan wanita, yang mereka inginkan adalah sesama jenis yaitu sesama laki-laki.
Nabi Luth berkata,
قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ
“Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolak kalian) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga (qabilah) yang kuat (tentu aku lakukan).” (QS. Huud: 80). Maksudnya, Nabi Luth berangan-angan andai saja ia punya kekuatan untuk menghalangi kaumnya atau memiliki keluarga (qabilah) untuk menghalangi kaumnya agar tidak mengganggu tamunya dengan tindakan fahisyah (homo). (Al-Muktashar fii At-Tafsir, hlm. 230)
Pelajaran:
Untuk menghalangi kaumnya tersebut, Luth menyebutkan sebab manusiawi. Namun, Nabi Luth tetap bersandar pada sebab terbesar yaitu Allah Ta’ala. Karena tidak ada yang dapat menghalangi kekuatan dari Allah. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 404)
Ini menunjukkan pentingnya bersandar pada Allah ketika menghadapi kesulitan, termasuk juga kesulitan dalam dakwah.
Masih bersambung insya Allah pada kisah yang berujung pada siksa yang menimpa kaum Luth.
Referensi:
Al-Mukhtashar fii At-Tafsir. Penerbit Markaz At-Tafsir li Ad-Dirasat Al-Qur’an.
Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, tahun 1422 H. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Penerbit Darus Salam.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
—
Selesai disusun di pagi hari @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 1 Jumadal Ula 1437 H
Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam